Ketua Badan Pengawas dan Disiplin (BPD) Partai Gerindra, H Bambang Kristiono (HBK) |
Selain masalah konversi lahan pertanian yang semakin menyempitkan lahan produks pertanian, Indonesia juga menghadapi tantangan menurunnya animo partisipasi generasi muda di sektor pertanian.
Semakin berkurangnya angkatan kerja di sektor pertanian, akan berbuntut kepada krisis petani yang dalam kurun waktu beberapa dekade ke depan bisa mengancam kedaulatan pangan kita.
Ketua Badan Pengawas dan Disiplin (BPD) Partai Gerindra, H Bambang Kristiono (HBK) mengatakan, untuk menghadapi masalah ini diperlukan sebuah upaya strategis.
Sekolah Tani, menurutnya, merupakan salah satu upaya yang harus mulai diinisiasi sebagai sistem terpola untuk regenerasi petani.
"Saya pikir harus ada upaya konkrit menjawab masalah krisis petani ini. Salah satunya dengan membentuk Sekolah Tani," kata HBK, Minggu ( 20/1)
Di jajaran Partai Gerindra, kata HBK, kaum muda yang tergabung dalam Gerindra Masa Depan (GMD), akan didorong untuk menjadi inisiator-inisiator Sekolah Tani di sejumlah daerah termasuk di wilayah NTB ini.
GMD merupakan para kader muda Partai Gerindra yang telah melalui pendidikan ideologi Partai yang diproyeksikan sebagai pemegang tongkat kepemimpinan atau regenerasi Partai Gerindra.
Ancaman krisis petani yang disampaikan HBK bukan tanpa dasar.
Survey BPS tahun 2013 menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun, yaitu antara 2003-2013, jumlah rumah tangga tani berkurang sebanyak lima juta.
Angka ini berimplikasi pada keberlanjutan usaha sektor pertanian di Indonesia, dimana ketersediaan produk pangan dalam negeri semakin menurun.
Selain jumlah petani yang kian menurun, masalah lain yang saat ini dihadapi petani adalah usia dan produktivitas petani.
Dalam sensus pertanian 2013, struktur usia petani didominasi oleh petani tua dengan tingkat pendidikan rendah. Data tersebut menyebutkan, sebanyak 60,8% usia petani di atas 45 tahun dengan 73,97% berpendidikan setingkat SD, yang akses terhadap teknologinya sangat rendah.
Data itu sejalan dengan hasil survei Struktur Ongkos Usaha Tani (SOUT) tanaman pangan pada 2011. Survei itu menyebut, bahwa sebagian besar petani tanaman pangan (96,45%), berusia 30 tahun ke atas. Hanya sekitar 3,35% saja yang berusia di bawah 30 tahun.
HBK mengatakan, kondisi ini bisa terus semakin parah jika tanpa ada pihak yang mau peduli mencarikan solusi.
"Kalau petani kita saat ini berusia diatas 40 tahun dan tidak ada regenerasi, maka bisa dipastikan dua dekade lagi, sektor pertanian kita akan mengalami kepunahan. Lahan yang subur dan menjanjikan, tidak ada yang menggarap", tukasnya.
Kecenderungan saat ini, profesi petani masih dianggap sebagai profesi strata terendah di negeri ini.
Hal ini terjadi lantaran perhatian dan pembinaan masyarakat terutama bagi para petani muda belum maksimal, keberpihakan dan pembelaan Pemerintah terhadap para generasi muda petani masih sangat memprihatinkan.
Ironisnya, banyak petani Indonesia sendiri yang tak ingin petani menjadi profesi turun temurun.
Sebuah survey dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) pada 2016, menuliskan bahwa 50% petani padi dan 73% petani holtikultura menyatakan tak ingin anaknya menjadi petani.
Dalam survey itu, jawaban senada juga dilontarkan anak-anak petani tersebut. Sebanyak 63% anak petani padi dan 54% anak petani holtikultura tak ingin menjadi petani.
Rendahnya minat anak muda terhadap sektor pertanian disebabkan profesi ini masih dipandang tak menjanjikan oleh anak-anak muda.
"Anak muda kita kerap menganggap bahwa menjadi petani bukanlah profesi yang menguntungkan. Padahal, faktanya banyak anak muda sekarang yang sukses berkiprah di pertanian," kata HBK.
HBK mengajak generasi muda millenial saat ini untuk mulai melihat sektor pertanian ini sebagai sektor yang menjanjikan.
Ia mengatakan, untuk membangun minat dan animo agar anak-anak muda mau bergelut di sektor pertanian, maka Sekolah Tani harus mulai dibentuk.
"Sekolah Tani ini nantinya yang akan mencetak generasi muda tani untuk menjawab persoalan bangsa saat ini yang sedang mengalami krisis sumber daya manusia di bidang pertanian", tukasnya
Yang menarik dari gagasan HBK ini, Sekolah Tani tersebut nantinya akan membina dan mendidik putra-putra bangsa yang memiliki kemauan keras untuk menjadi wirausahawan di bidang pertanian, namun di sisi lain tidak memiliki kesempatan untuk belajar di pendidikan tinggi karena keterbatasan ekonomi.
"Jadi Sekolah Tani ini gratis dan bisa menjadi jawaban juga bagi anak-anak muda yang tidak bisa melanjutkan sekolahnya karena persoalan biaya", kata HBK.
Menurut HBK, membangun Sekolah Tani akan semakin mudah jika ada kemauan dan perhatian bersama termasuk dari pemerintah. Banyak aset lahan pemerintah yang belum dimanfaatkan, khususnya di tingkat pedesaan yang bisa digunakan untuk Sekolah Tani ini. Tenaga didik juga bisa diambil dari tenaga penyuluh pertanian di desa-desa setempat.
"Sehingga selalu ada regenerasi petani, dengan mutu dan pengetahuan yang terus berkembang sesuai tuntutan zaman", katanya.
Walaupun banyak generasi muda menganggap usaha di bidang pertanian merupakan bisnis yang tidak menjanjikan, namun sebenarnya usaha di bidang ini cukup prospektif.
Hal ini disebabkan karena produk pertanian selalu dibutuhkan banyak orang.
Caleg DPR RI Partai Gerindra dengan Nomor Urut-1 dari Dapil NTB-2/P. Lombok ini mengatakan, dirinya juga akan mendorong terbentuknya Sekolah Tani di P. Lombok ini dan Prov. NTB pada umumnya.
"Mungkin di awal-awal, kita akan dorong inisiasi ini dari kader muda Partai Gerindra yang kompeten di bidang pertanian. Kami juga punya GMD yang merupakan kader-kader cemerlang Partai Gerindra", katanya.
*Ancaman Konversi Lahan*
Selain krisis petani, tingginya konversi lahan pertanian juga mengancam sektor pertanian, termasuk di Prov. NTB.
Dinas Pertanian dan Perkebunan Prov. NTB mencatat, setidaknya areal pertanian di NTB menyusut sebanyak 500 hektare setiap tahun seiring dengan pesatnya pembangunan infrastruktur di daerah ini.
Ironisnya, penyusutan sebesar itu termasuk pada 247 hektare lahan pertanian irigasi produktif yang sebelumnya ada di wilayah NTB.
Angka penyusutan ini diprediksi akan terus meningkat seiring dengan maraknya pengalihan fungsi lahan, seperti pembukaan jalan baru dan pembangunan infrastruktur perumahan, pertokoan, dan lain-lain.
HBK mengatakan, penyusutan lahan tersebut dapat berdampak terhadap capaian produksi pangan di NTB, meski dilakukan pencetakan sawah baru.
"Untuk itu, harus ada upaya juga dalam melakukan intensifikasi pertanian. Karena lahan pertanian terus menyusut sementara jumlah penduduk terus bertambah", katanya.
HBK juga mengajak para kaum muda generasi millenial untuk memikirkan hal ini.Terutama bagi para mahasiswa, dan juga para lulusan Fakultas Pertanian.
"Jangan sampai lulusan Fakultas Pertanian, enggan bergelut di sektor pertanian. Ayo, kita gelorakan semangat kita bersama dalam membangkitkan dan mengembalikan kejayaan sektor pertanian ini", katanya.
#Ryan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar