Bima, Inside Pos,-
Peristiwa 72, merupakan reka ulang tentang kehebatan Dou Donggo di panggung perlawanan. Mereka sejak dulu, dikenal militan, suka berontak, menolak tunduk, dan tidak takut dengan ancaman, lebih memilih jalan juang untuk mati dalam medan perlawanan, dari pada membelot, mengkhianati umat.
Kisah heroik tentang jiwa juang kesatria Dou Donggo diperagakan oleh Ompu Sambolo Kala, ia rela mati di ujung sebilah pedang, ketika kepalanya dipenggal di hadapan penguasa, para Ncuhi, dan Hulubalang. Ia tidak gentar apalagi ciut nyalinya, kepalanya tetap tegak, sekalipun, tidak pernah menunduk, apalagi menoleh kiri kanan meminta iba pada raja atau kolega.
Ia, justru dengan lantang, menolak untuk mencabut kembali ucapan yang terlanjur terucap. Laki-laki Donggo, ucapannya sangat mahal dan berharga, tidak sembarang diucapkan, karena hanya sampah yang bisa dipungut kembali. Ompu Sambolo Kala, membuktikan keberaniannya, saat memberikan seekor kerbau kurus sebagai upeti kepada sang baginda raja.
Dan, tindakan Ompu Sambolo Kala ini, membuat raja murka, dan menghukum Sambolo Kala, dengan terlebih dahulu mempermalukannya di hadapan semua tamu yang hadir. Tindakan sang raja ini membuat Sambolo Kala, menunjukan kelasnya sebagai pemimpin ksatria, dihadapan para tamu kerajaan dengan lantang berkata, lebih baik kepala yang pulang dari pada nama baik tercemar, dikenang generasi sepanjang masa.
Sambolo Kala, bisa saja selamat dari hukuman asalkan meminta maaf, atau menghibur hati raja dengan memberikan kerbau terbaik seperti yang diberikan oleh para Ncuhi lainnya, tetapi hatinya berontak menolak untuk bersikap munafik, karena rakyatnya menderita kekurangan pangan, dan kelaparan dilanda musim kering. Ompu Sambolo Kala menolak mencari pencitraan untuk meraih popularitas diri dengan membohongi bathin publik yang sedang menjerit.
Militansi perlawanan dan daya juang Dou Donggo sudah teruji jauh sebelum masa kemerdekaan. Bahkan ide-ide besar tentang moderasi perjuangan rakyat dalam memperjuangkan kemerdekaan, persamaan derajat, penghormatan terhadap HAM, sebagai jargon agitasi menumbuhkan sensitifitas persatuan, dan pemantik perlawanan rakyat secara masif di seluruh pelosok nusantara yang dipelopori oleh Budi Oetomo 1908, senafas dengan gelora semangat perlawanan yang dinyalakan oleh Dou Donggo.
Sehingga, tidak heran Dou Donggo tampil dengan gagah membakar api perlawanan untuk mengusir penjajah Belanda di tanah Bima melalui perang Kala 1909 (Tajib Abdullah). Yang dikenal apik perlawanan rakyatnya, masif serangannya baik secara terbuka maupun gerilya, perang ini memakan banyak korban jiwa dari pihak Belanda.
Perang Kala merupakan pertempuran sengit yang sulit dilumpuhkan oleh Belanda. Mereka butuh 3 tahun lebih, untuk menundukan perlawanan Dou Donggo. Ketangguhan perlawanan tersebut, tidak terlepas dari siasat yang dimainkan oleh panglima perang Donggo La Ntehi, dan Wai Ncahu, yang begitu lihai menyusun strategi perang, di mana kemampuan menyerang dan bertahan, nyaris sempurna sama baiknya.
Kehebatan Wai Ncahu, wanita pemberani Donggo terus diceritakan kepada generasi, saat ia menantang maut karena terluka bathin, menyaksikan darah mengalir di tubuh kakaknya. Ia membalas dengan membuat jebakan maut, sambil menantang duel terbuka, ia mengaung-ngaung dan berteriak memanggil pasukan Belanda.
Belanda murka, menyaksikan aksi Wai Ncahu, dan langsung menyerang membabi buta. Dan ketika pasukan belanda melewati jembatan gantung yang sengaja dibuat, di atas permukaan dipenuhi dedaunan agar terlihat tidak ada jebakan, ketika mereka lewat, di mana tali menggantung yang sudah diikatkan dengan batu besar, langsung potong.
Dan seketika pasukan Belanda berjatuhan meninggal dari ketinggian permukaan jurang terjal di Ncai Sambi Donggo. Itulah kisah heroik Wai Ncahu dan la Ntehi sebagai ksatria. Di mana hidupnya dihabiskan di medan juang, namanya selalu hidup menginspirasi perjuangan pemuda-pemudi Donggo sebagai lambang moral force.
Peristiwa 72, merupakan momentum kebangkitan kembali daya juang dan semangat perlawanan Dou Donggo, melawan tirani kepemimpinan despotis di bawah kendali Soeharmadjid.
Bupati berlatar belakang militer tersebut, mempraktekan Kepemimpinan otoriter anti kritik. Di mana kendali kekuasaan begitu tertutup, lawan politik diintai setiap aktivitas dan gerakan, kelompok masyarakat sipil (Pers dan NGO), dibatasi ruang gerak. Kritikan dianggap anti pemerintah, sehingga suara-suara kritis dibungkam, dan pers menjadi media informasi kepentingan pemerintah (Humas).
Hegemoni kekuasaan saat itu, begitu kuat cengkraman, berdampak pada dominasi penguasaan semua sumber informasi, dan sumber-sumber daya lainnya. Akibatnya distribusi kekuasaan dan program pembangunan jauh dari prinsip pemerataan dan keadilan di setiap wilayah.
Dou Donggo, darah juangnya mendidih, menyaksikan perlakuan diskriminasi terhadap masyarakat Bima, lebih khusus masyarakat Donggo, merasa dianatirikan dalam pembangunan kesejahteraan masyarakat di berbagai bidang, terutama infrastruktur jalan, jembatan, irigasi dan sektor lain kurang mendapatkan perhatian pemerintah daerah.
Kondisi objektif tersebut, membakar api perlawanan tokoh-tokoh Donggo, yang dijuluki singa pemberani, sebut tokoh muda Donggo Jamaluddin H.Yasin digelari Abu Dzar, singa podium, H.Abbas Oya intelektual pemberani dan cerdas kala itu, dari tokoh tua TG. H. Majid Bakry ulama kharismatik. H.M.Ali Taamin sosok tokoh pendobrak militan, dan H. Kako tokoh kebathinan (spiritual) dikenal sakti dan kebal.
Tokoh-tokoh tersebut, merupakan lokomotif penggerak peristiwa 72 sebagai gerakan moral force, sehingga seluruh masyarakat Donggo mulai ujung barat, timur, utara, selatan tumpah ruah di jalan raya, lautan manusia bergemuruh meneriakan yel-yel turunkan bupati Soeharmadjid, ganti dengan puta daerah Putra Abdul Kahir.
Masyarakat kompak, bersatu dalam satu nafas komando, pekikan takbir Allahu Akbar memenuhi langit-langit perjuangan, membakar semangat dan api perlawanan masyarakat untuk menumbangkan rezim otoriter. Mereka sedikitpun tak gentar menantang badai maut, berbagai teror, tekanan, dan ancaman membuat mereka semakin berdaya melawan.
Hampir tidak ditemukan ketakutan di mimik wajah mereka, justru kegirangan dan kegembiraan, karena semua masyarakat pulau Sumbawa, bahkan Indonesia menyaksikan parade perlawanan Dou Donggo menggugat ketidakadilan di dana Mbojo, sampai tuntutan berhasil dipenuhi.
72 di Mata Kaum Muda.
Peristiwa 72, di mata kaum muda bukan sekedar kisah heroik para pejuangnya, yang berani berkorban diri untuk kepentingan orang banyak, berani memilih jalan menderita demi rakyat, berani melewati jalan terjal kematian demi membela kebenaran. Mereka rela mati di ujung laras kekuasaan demi mengobarkan api perlawanan terhadap rezim otoriter. Mereka menuntut tegaknya keadilan, bagi kelangsungan masa depan Dana Mbojo yang lebih baik.
Kisah fenomenal lain dari peristiwa 72, bagi kaum muda adalah keteladanan para tokoh yang saling menjaga misi suci perjuangan. Di mana mereka junjung bersama sejak diawal sampai akhir, tidak saling curiga. Mereka bersatu padu mengawal, dan menjaga semangat persatuan, satu yang tersiksa semua menderita, satu penjara semua harus dihukum sama dalam sel.
Di sisi lain, masyarakat harus patuh, dan tunduk pada keputusan bersama, dan harus bersatu padu berjuang bersama untuk kepentingan umum, semangat itulah membuat masyarakat Donggo berbaris rapi dan tertib, menunggu satu komando untuk menyatakan satu sikap. Bahwa mati untuk membela perjuangan itu lebih baik dari pada hidup terus tindas tanpa melawan. Mereka yang menjadi saksi hidup peristiwa 72, bercerita bahwa saat itu bathin publik masyarakat Donggo bergelora menyambut perjuangan. Dan di kepala masyarakat telah diikat kain kafan menanti ajal di medan juang sebagai syuhada.
Di era milineal, nilai-nilai 72, harus direvitalisasi dalam menjaga keluhuran martabat Dou Donggo, dengan meneguhkan kembali nilai integritas, solidaritas, konsistensi dan militansi. Berdasarkan falsafah "Nggahi Rawi Pahu dan Maja Labo Dahu".
Penulis: Intelektual Muda Donggo, Yasser Arafat, SH, M.H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar