Bima, Inside Pos,-
Koalisi Wartawan (Kawan) Mataram menggelar aksi solidaritas di depan Kantor Gubernur NTB, Senin (5/4). Mereka mendesak polisi mengusut tuntas pelaku kekerasan terhadap wartawan Tempo, Nurhadi.
Kawan Mataram terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Mataram, Ikatan Jurnalis Televisi Indnesia (IJTI) NTB, Persatuan Wartawan Indonesia(PWI) NTB dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) NTB, dan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Mataram.
Ketua Aliasnsi Jurnalis Independen (AJI) Mataram, Sirtupillaili mengatakan, kekerasan yang dialami Nurhadi di Surabaya saat melakukan peliputan kembali menjadi catatan buruk bagi kemerdekaan pers. Terlebih tindak kekerasan itu diduga dilakukan oknum aparat keamanan yang harusnya melindungi jurnalis saat melakukan peliputan.
’’Nurhadi, saat itu tengah menjalankan tugas liputan, serangkaian proses investigasi kasus suap pajak yang diduga melibatkan Angin Prayitno Aji, Direktur Pemeriksaan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan,” katanya saat orasi.
Angin ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak Februari lalu. Ia diduga menerima suap dan gratifikasi senilai Rp 50 miliar dari tiga perusahaan. Yakni, PT Jhonlin Baratama, PT Gunung Madu Plantations dan PT Bank Pan Indonesia (Panin).
Nurhadi yang hendak mengkonfirmasi dugaan tersebut justru mengalami tindak kekerasan. Peristiwa itu terjadi saat Angin melangsungkan resepsi pernikahan anaknya di Gedung Graha Samudera Bumimoro (GSB) di kompleks Komando Pembinaan Doktrin Pendidikan dan Latihan TNI Angkatan laut (Kodiklatal) Surabaya, Jawa Timur pada Sabtu 27 Maret 2021 malam.
Nurhadi mengalami pemukulan, penyekapan, teror, dipaksa menerima uang hingga ancaman pembunuhan karena mengambil foto dalam acara itu. Tidak hanya itu, ponselnya yang berisi foto dan data-data penting diambil paksa terduga pelaku yang diduga polisi.
’’Kasus itu menunjukkan, aparat kepolisian gagal melindungi kerja-kerja jurnalis sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” terangnya.
Kekerasan yang dialami Nurhadi menambah daftar panjang kasus kekerasan terhadap jurnalis saat melakukan peliputan. Data Aliansi Jurnalis Independen Indonesia menunjukkan tahun 2020 terdapat 84 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Pelaku paling banyak adalah polisi.
Jumlah kasus ini meningkat dibanding tahun sebelumnya sebanyak 54 kasus. Bentuk kekerasan di antaranya intimidasi, kekerasan fisik, perusakan alat liputan, perampasan alat kerja hasil liputan, ancaman atau teror. Situasi ini tentu tidak baik bagi kehidupan demokrasi di Indonesia.
Selain melanggar Undang-Undang Pers, tindakan sekelompok oknum polisi terhadap Nurhadi merupakan perbuatan pidana dan melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
”Aparat penegak hukum tidak dibenarkan menggunakan kekerasan fisik terhadap orang lain. Mereka dilatih untuk melindungi rakyat bukan memukuli orang yang belum bisa dibuktikan kesalahannya secara hukum,” tegasnya.
Korlap Aksi, Islamuddin mengatakan, perbuatan itu jela-jelas merupakan tindakan premanisme yang mencoreng nama instansi kepolisian. ”Untuk itu, para pelaku harus diberikan sanksi hukum pidana sesuai undang-undang,” desaknya.
Tindakan premanisme oknum aparat keamanan itu juga tidak bisa dimaafkan. ”Semua oknum yang terlibat harus diberikan hukuman,” katanya.
Dalam aksinya Kawan Mataram membacakan tuntutan yakni mengutuk kekerasan yang dialami jurnalis Tempo Nurhadi. Kekerasan terhadap jurnalis yang sedang menjalankan tugas atau siapa pun tidak bisa dibenarkan.
Mendesak aparat kepolisian mengusut tuntas kasus kekerasan dan ancaman pembunuhan terhadap jurnalis Tempo Nurhadi.
Menuntut sikap profesionalisme kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam proses penyelidikan perkara tersebut. Sehingga siapa pun yang terbukti bersalah baik itu oknum polisi atau oknum TNI harus diproses secara hukum sesuai ketentuan undang-undang.
Pena Bumi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar