Jakarta, Inside Pos,-
Konflik pertanahan menjadi isu laten di tengah-tengah kehidupan masyarakat di Indonesia. Isu inilah yang menjadi salah fokus pemerintahan Presiden Joko Widodo – Ma’ruf Amin untuk dapat diselesaikan.
Presiden bahkan mengaku paham, konflik agraria dan sengketa tanah menjadi tantangan berat yang dihadapi para petani dan nelayan, serta masyarakat penggarap lahan. Situasi inilah yang kini dihadapi Masyarakat Adat Suku Dayak di Desa Jembayan Dalam dan Jembayan Tengah, Kecamatan La Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
“Sampai saat ini masyarakat di kedua desa tersebut tidak pernah mendapatkan ganti untung dari PT. MHU,” kata Sutanto, Perwakilan Masyarakat Adat Suku Dayak Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, didampingi pengacaranya, Niidlamul Harby Elghama, SH dari Law Office Elghama di Jakarta, baru-baru (8/11).
Sengketa lahan antara Masyarakat Adat Suku Dayak Kutai Kertanegara dengan PT. Multi Harapan Utama (PT. MHU) mulai terjadi pada 2019 ketika pihak perusahaan mulai melakukan penambangan di atas lahan yang sudah digarap masyarakat Adat sejak tahun 1970-an. Akibatnya warga Masyarakat Adat Dayak yang kehilangan mata pencaharian di sana mengalami penderitaan panjang karena tidak bisa lagi berladang dan berkebun yang selama ini menjadi mata pencaharian mereka.
“Kami sudah melapor ke mana-mana. Sudah melakukan mediasi melalui aparat terkait mulai dari tingkat desa sampai kabupaten. Kami juga sudah melapor ke DLHK. Tapi hasilnya nihil,” kata Sutanto.
Lebih lanjut, Sutanto, mengatakan karena itu pihaknya mencoba mengadukan masalah sengketa lahan Masyarakat Adat Dayak Kutai Kertanegara dengan PT. MHU ke tingkat pusat di Jakarta.
“Saya sudah berkirim surat ke Presiden dan berbagai lembaga tinggi negara agar kasus ini menjadi perhatian segera, dan masyarakat mendapatkan haknya yang sesuai dengan aturan hukum yang ada,” tegas Sutanto
#Pena Bumi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar