Saya sangat kagum pada mentalnya, tulisan ini pun hanya ekspresi saya melihatnya sepintas, mendengar ungkapannya sebentar, sudah pasti saya tulis tanpa referensi. Iya, hanya ekspresi padanya yang berani berjuang--bergelar INA RIMPU.
Sejak kecil saya diselimuti dengan kain tenun yang dihasilkan dari keuletan seorang ibu atau kakak, mungkin juga saat lahir dan membuka mata pertama melihat dunia, saya disambut dengan tenun juga. Tapi belum sempat tanya ke ibu terkait hal itu. Saya senang saja memakai tenun, kemana saja saya selalu bawa sarung tenun dalam tas. Walau sampai sekarang saya tidak memiliki pengetahuan lebih tentang makna sebuah tenun bagi kebudayaan kita.
Sabtu 4 Juni 2022, tepatnya malam minggu, saya ikut gabung dalam acara Ina Rimpu--Yuli Ha Ode, tapi telat tiba di lokasi sehingga tidak mendengarkan secara keseluruhan dari perbincangan menarik tersebut. Sebelumnya pun saya dikirim flayer dan undangan kegiatan oleh Owner Lentera Donggo Leny Lestari, namun tetap saja tak bisa tepat waktu menghadirinya, disebabkan keteledoran main berkunjung plus singgah di beberapa tempat.
Saya tak mengenal dekat Ina Yuli yang digelari Ina Rimpu--Duta Rimpu, sebelumnya saya pernah saling komentar di facebook, lalu sempat juga dapat inbox tentang keinginan baca puisi, kemudian beliau pernah baca salah satu puisi saya. Selebihnya saya melihat beliau di beranda media sosial tentang ide besar mempromosikan pakai rimpu. Saya pun sebut 'kegilaan' level tinggi yang dilakukan beliau, aktivitas rumahan hingga formal sekalipun selalu menggunakan RIMPU.
'Mabuk' rimpunya ina Yuli telah menembus mancanegara--negeri singa atau tanah singa, negara Singapura, meracuni banyak generasi agar mereka memiliki kepercayasn diri, mengangkat dan menghormati produk lokal--pikiran dan kreatifitas yang berkualitas dari orang Bima--para perempuan Mbojo. Ina Yuli sudah 'sakau' menggunakan rimpu, hidup tanpa rimpu merupakan kesepian yang menyiksa, kesunyian yang mengiris ulu hati, bahkan terasa sedang diringkus oleh kegelapan. Rimpu baginya sudah jadi cahaya penerang siang-malam, telah jadi energi yang membisiki untuk bangun di pagi hari serta menemaninya cerita di malam hari. Rimpu ialah jiwanya yang utuh--gerak totalitas dalam puja puji budayanya.
Saya yakini, memakai rimpu cukup mudah, tapi menggunakan rimpu untuk totalitas dalam semua kegiatan--resmi maupun tidak resmi, membutuhkan kekuatan mental yang cukup. Tentu tidak sedikit orang-orang yang mencibir hingga mencemooh--mungkin dilabeli sebagai perempuan yang kampungan. Atau bisa saja dicap sebagai perempuan yang 'kecanduan' terhadap masa lalu, tapi ia sedang mengimani masa lalu sebagai setapak yang berkah menuju kejayaan masa depan. Kritikan--berbentuk hinaan dan berwajah pujian, selalu jadi obat yang menguatkan dirinya untuk terus berkarya dan meluaskan sayap perjuangan.
Ina Yuli dalam rimpunya telah mengangkat kepercayaan diri perempuan yang tak pernah berhenti menenun. Perempuan yang sepanjang hidupnya meneteskan keringat untuk menenun, nafas mereka disambung melalui kapas dan benang. Saat menenun para perempuan menuntaskan suka duka, memanjatkan harapan dan impian, melirikan pesan tetua sebagai perenungan hidup. Jadi, ina rimpu menyimpan keringat, air mata, keresahan, rasa haru, dan senyuman, di kepalanya--mejadikan kain tenun sebagai mahkota diri.
Memuliakan rimpu mulai dari Bima hingga ke Jakarta--membumikan dengan Festival, hingga ke Singapura makin meneguhkan hatinya untuk menjunjung rimpu. Langkah cukup jauh--meletihkan dan mengembirakan, perjalanan panjang untuk sebuah pengabdian pada budaya yang diyakini baik bagi daerah dan orangnya. Rasa optimis dan panggilan jiwa mampu mengalahkan setiap tantangan. Air mata pun mampu menumbuhkan ide kreatif agar tetap bergerak maju, menghimpun energi perempuan lain supaya saling menyapa dengan lambaian rimpu.
Ia kembali ke Bima, menuju puncak La Hila di Desa Kala Kecamatan Donggo, sebelumnya ia sempatkan diri berkunjung di Kampung Tenun Donggo di Desa Mbawa Kecamatan Donggo, menyentuh lembutnya kapas serta menyimak suara lembut ibu penenun. Ia melihat sendiri kapas yang akan jadi sarung tenun-- melingkar jadi rimpu, hingga membayangkan kapaslah yang menemani sang manusia diakhir kehidupan nanti menuju jalan abadi. Lalu, di kampoeng wisata La Hila, ia berjumpa dengan ibu-ibu, pelajar, dan perempuan dewasa pecinta budaya--meridukan rimpu. Ia berkisah--menginspirasi sekaligus mendengar keluh kesah perempuan tentang kehidupan, tenun, dan berbudaya. Mungkin ia juga mempunyai segudang keluhan yang sama, tapi demi melestarikan budaya tak boleh bermodalkan keluhan, melainkan terus berjalan dalam sepi maupun ramai, tetap memakai simbol budaya dalam beraktivitas apa saja. Tentu ketulusan hanya bisa diharapankan kepada pemilik budaya itu sendiri untuk memperlihatkan pada dunia.
Percakapan malam, saat tubuh menggigil dipeluk dinginnya Kampoeng Wisata La Hila, saya berbicara soal rambut dan penutupnya--rimpu dan jilbab, hingga soal corak maupun simbol SALUNGKA dalam Tembe Nggoli. Tentu model salungka memiliki makna yang filosofis yang berkorelasi dengan kehidupan masyarakat, sangat perlu dipelajari dan ditelaah lebih dalam supaya bisa dipraktiskan dalam kehidupan. Tetapi soal rambut yang saya sendiri menganggap suka berdialog saat bergerak dan rimpu tak berdialoga hanya melambai saja.
Ina Rimpu menyebutkan bahwa justru karena rambut perempuan sebagai mahkotanya, berpotensi menggoda seorang lelaki, maka rimpu melindunginya dengan cinta. Mahkota rimpu lebih menyejukan mata yang memandang sekaligus mengajak kita untuk menjelajah masa silam hingga berpetualangan dalam lorong waktu yang mendatang. Malam kian sunyi membuat Ina Rimpu dan anaknya pulang bermimpi di tenda masing-masing agar esok bisa jumpa sunrise.
Usai ritual menyambut sunrise sambil berfoto ria, Ina Rimpu bersama anak-anaknya menggelar fashion show, tentu mengenakan rimpu dan membawa hasil kreatifitas seperti kula dan tas berbahan tenun. Kula merupakan tempat nasi yang dianyam dari daun pandan, orang Donggo dulu memakai kula untuk membawa nasi apabila pergi ke kebun dan ladang. Daun pandan selain dianyam jadi kula, biasa juga dibuatkan tikar, masa kini bisa dibuat untuk beragam kreatifitas.
Saya memperhatikan dari malam hingga pagi, ide dan aktivitas Ina Rimpu--Yuli Ha Ode yang begitu militan dan progresif menjadikan rimpu sebagai jiwa budaya yang harus digunakan setiap saat. Ia sungguh 'mabuk' rimpu, rasa 'kecanduan' tersebut ia tularkan kepada banyak orang. Memanggil jiwa generasi untuk bersama-sama mabuk terhadap rimpu.
Ia telah 'sakau' pada rimpu, rasa 'sakau' ia tunjukan pada dunia dan isinya. Segala kemabukan, kecanduan, dan sakau, hanya bisa ditawar dengan rimpu. Berjumpa dengan perempuan yang rimpu, tentu sebagai seorang ibu dalam hal rimpu, ia akan mengasuh anak-anak rimpu hingga tumbuh lebih dewasa. Merekalah yang akan jadi benteng budaya.
Ina Rimpu sedang 'mabuk' untuk mencerahkan perempuan lain. 'Sakau' demi menyadarkan yang orang lain. 'Mabuk dan sakau' yang berfaedah bagi perempuan ialah mencintai rimpu.***
**Penulis merupakan pencinta sastra yang tinggal di Bima.
#Tot
Tidak ada komentar:
Posting Komentar